Sabtu, 15 Juni 2013

Liat Liat Liat

Cerita Siput dan Katak

Cerita Siput dan Katak
Sebuah cerita bisa memberikana refleksi dari kehidupan kita. Lucunya, kalo kita ingat saat kecil dulu, banyak dongeng yang selalu dibacain ibu kita yang kalo kita ingat, banyak esensi yg pas.Seperti yang ini:
Ada sebuah cerita tentang dua hewan bernama Siput dan Katak
Siput selalu memandang sinis terhadap katak. entah kenapa sang siput selalu terlihat sinis selalu melihat sang katak tsb.
Suatu hari, katak yang merasakan hal ini dengan nada penuh kesabaran akhirnya bertanya kepada siput:
“Tuan siput, apakah saya telah melakukan kesalahan, sehingga Anda begitu membenci saya?”
Siput menjawab:
“Kalian kaum katak mempunyai empat kaki & bisa melompat ke sana ke mari, tapi saya mesti membawa cangkang yg berat ini, merangkak di tanah, jadi saya merasa sangat sedih.”
Katak menjawab:
“Setiap kehidupan memiliki penderitaannya masing-masing, hanya saja kamu cuma melihat kegembiraan saya, tetapi kamu tidak melihat penderitaan kami (katak).”
Dan seketika, ada seekor elang besar yg terbang ke arah mereka, siput dg cepat memasukan badannya ke dalam cangkang, sedangkan katak dimangsa oleh elang…
Siput terharu…
Akhirnya baru sadar… ternyata cangkang yg di milikinya bukan merupakan suatu beban… tetapi adalah kelebihannya…
Moral dari cerita ini yang bisa dipetik adalah:
Nikmatilah kehidupanmu, tidak perlu dibandingkan dengan orang lain.
Keirian hati kita terhadap orang lain akan membawa lebih banyak penderitaan…
A real happiness starts from counting our blessings not our weaknesses
For there will come an inner strength to tell ourselves that ‘enough’ is too much of a word to show gratefulness.
In times of trouble, in the moment of not having things,
maybe we should take a chance to look back all the things
in the past before life has put us here right at this moment.
Remember the times when life showered you with happiness
Remember the times when life protected you from pain
Remember the times when life assured you there’s nothing you’d never be able to get through, if you believe.
It’s not the happiness that makes us feel grateful but feeling grateful brings an abundant of happiness.


source : stagustaf

Minggu, 09 Juni 2013

4J - Edited




Januari-Juli-Jogja-Jakarta


Detik-detik ini membawaku melayang menerawang ke alam antah berantah yang menyediakan istana penuh kasih untuk kita singgahi. Kau membimbingku ke alam itu dengan meletakkan tanganmu di atas punggungku, dan inilah pertama kalinya seorang lelaki melakukanya padaku. Merah mukaku andai kau melihatnya saat itu, dan beruntungnya kau tak tahu karena aku menyandarkan kepalaku di depan tas hitamku. Andai boleh, sebenarnya ingin hati sandarkan kepala ini di bahumu saja, tapi sayang Tuhan belum mengijinkanya.


Bis Kebumen-Jogja ini mungkin sedang menunggu cerita tentang kita. Maafkan aku sepanjang perjalanan kali ini aku hanya diam tanpa kata. Aku tau kau pasti mengerti dengan keadaanku yang mabuk kendaraan. Aku hanya bisa menerka-nerka apa yang sedang kau fikirkan saat ini, mungkin andai bisa kita tarik garis keluar dari dalam benak ini bisa saja kita bertemu dalam terkaan-terkaan itu. Ya, luar biasa bukan, kita bisa berkomunikasi tanpa kata-kata. Dan biarkan hati kita yang bicara.


Sampai akhirnya pembicaraan dua hati itu mengantar kita ke kota ini lagi. Kota yang kau dan aku sukai. Kota yang menurutmu unik karena ada sesuatu yang tidak ada dalam bayanganmu. Apa itu yang tak ada dalam bayanganmu? “Seseorang yang buta dan bisa menyanyi di sekitar Mall Malioboro”. Itu katamu. Kalau menurutku, kota ini tidak unik, tapi nyaman. Nyaman karena aku bisa melakukan apa yang aku suka : bersepeda dengan bebas dan aman, berkereta dengan nikmat, berbelanja dengan hemat, berteman dengan akrab, dan ada toko buku yang lengkap.


Tanggal satu Juni ini, kau sebut sebagai kencan pertama kita. Bahkan serba pertama, hujan pertama, kencan pertama, dan kereta pertama di bulan Juni. Kau selalu pandai mengambarkan keindahan dengan kata-katamu sampai aku terpana dengan ucapan-ucapanmu. Motivasi, harapan, cerita, ide, dan buah pikiranmu, semua kau ungkapkan dengan baik bersamaan dengan kekagumanku dengan kopi pertama di cafe Mall Malioboro ini. Meski agak lucu juga waktu kau dan aku saling berdebat tentang saus tomat dan saus cabe pada makanan di depan kita. Katamu yang saus cabe itu yang warnanya oren yang merah itu saus tomat. Tapi aku menyangkal, saus tomat ya yang warnanya oren, kan tomat itu warnanya oren. Cabai itu merah kan? Tapi, kemudian ketika terakhir kali kucoba lagi ternyata aku merasakan rasa tomat pada saus yang berwarna merah itu. Ah lebih baik diam, aku jadi malu karena setiap aku berdedebat aku bersikukuh dan aku salah.


Lalu, kau melanjutkan nasehatmu. Kau bilang, aku harus terbiasa dengan dunia seperti ini. Kau bilang juga, aku harus ingat dengan cincin yang telah kau pasangkan di jari manisku. Katamu, “Masa cincin udah melingkar di jari manismu tapi kelakuanmu masih aneh.” Kau bilang aku aneh waktu kau ingat tingkahku yang suka bersepeda sendiri, menyendiri, dan suka berjalan jauh. Aku jadi merasa lucu, waktu kuingat kau kelelahan ketika kita berjalan ke sawah, waktu kau menolak keras saat kuajak bersepeda. Aku semakin menikmati perbedaan ini. Kau tak suka olahraga, aku cukup suka. Kau tak mau repot, aku suka tantangan. Kau pandai berkomunikasi, aku kesulitan. Kau insomnia, aku tidur cepat. Aku tak pernah peduli dengan penampilan, kau sangat teliti dengan performa. Kata-katamu tinggi, aku hanya bisa berkata datar. Semua itu, indah.


Waktu kau mengajariku gaya hidup orang Jakarta, kau menjelaskanya dengan semua yang ada di Mall itu. Seandainya saat itu aku lebih leluasa mengingat, aku bisa katakan ini padamu “Orang-orang yang berbelanja di mall ini, mereka hanya sedang menghibur diri dengan membeli apapun yang mereka sukai, dibaliknya mungkin mereka punya kesedihan yang mendalam”. Sebenarnya kata itu aku jiplak dari cerpen Agus Noor. Aku memang lebih ingin mencontoh hidup ala Epicurean, bersumber pada pemikiran Epicurus, filsuf yang mendendangkan kebahagiaan hidup sederhana itu. Atau tidak jauh-jauh, hidup ala Rasulullah yang sangat sederhana itu. Tapi, aku juga manusia biasa yang tidak sehebat mereka, mungkin aku juga suka mencari hiburan seperti mereka-mereka yang berbelanja di Mall.


Sore ini, kau akan kembali lagi ke Jakarta, kota tinggalmu. Kau akan meninggalkan aku di sini,untuk sementara katamu. Oleh sebab itu, ijinkan aku mendengarkan setiap kata-katamu sembari berkeliling-keliling dengan becak ini. Selesai ngopi tadi, kau ajak aku naik becak, rupanya kau tak ingin menyia-nyiakan kesempatanmu menikmati kota ini ya? Aku sudah biasa bersepeda mengelilingi kota ini, aku juga biasa dengan pemandangan, suasana, dan keadaan di sini : Malioboro, alun-alun utara,alun-alun selatan, jadi bagiku tidak menarik lagi. Yang menarik itu, naik becak bersamamu dan mendengarkan ceritamu. Maka, aku suka hari ini. Hari bersamamu.


Kau ini membuatku spechless saat kuingat lagi pertemuan kita. Datangmu benar-benar kuasa Tuhan yang nyata. Saat itu, aku benar-benar tak mengenalmu dan tiba-tiba kau datang ke rumahku di Kebumen pada akhir Januari. Mama menyuruhku menemuimu karena katanya kau saudaraku yang ada di Jakarta. Anak kakaknya embah.


Esoknya kau memberiku surat yang berisi ajakanmu menjalin hubungan denganku(kau mengirim surat karena kau akan pulang ke Jakarta). Awalnya aku benar-benar tak menyangka surat itu benar-benar untukku. Kau ceritakan mengapa kau menuliskan surat itu. Kau bilang mama dan bapakku banyak menceritakan padamu tentang aku. Aku sangat takut dengan semua itu. Pasti mama dan bapak telah berlebihan menceritakan tentang aku, aku tidak suka itu. Aku takut kau kecewa. Aku hanya wanita desa yang telah nyaman dengan keadaan yang tak pernah membuatku berpikir untuk maju. Aku juga hanya wanita biasa yang tidak punya banyak kelebihan. Aku lalu mencari buku harianku dan ingin kutulis tentang hal ini. Saat aku ingin mulai memoles pena di atasnya, aku melihat tulisanku sebelumnya yang berisi doaku kepada Tuhan untuk meminta sahabat terbaik untuk hidupku. Dan akhirnya aku mencoba meyakinkan diriku bahwa mungkin kaulah jawaban doaku.


Saat itu, semua rasa bercampur dan saling bersuara dalam batinku. Sampai akhirnya aku mendengar suara paling bijaksana dari hatiku. Suara yang mengantarkanku sampai pada saat bahagia ini. Aku memberikan jawaban itu lewat sms ke nomor hp yang kau tulis di suratmu, dan mungkin kau lega dengan jawaban itu. Kemudian, tahukah kau apa yang menimpaku selanjutnya? Kalau kau menyimak, kau pasti akan benar-benar merasa bahwa hubungan kita langsung teruji. Orang-orang di masa lalu datang dan meyandung hubungan kita. Dan ujian itu juga yang akhirnya meyakinkan kita untuk menempuh jalan selanjutnya. Sampai kau membuat keputusan melamarku pada awal bulan Maret. Sejujurnya, aku takut dan bahkan sangat takut kalau kau kecewa dengan kenyataan bahwa diriku seperti ini : tidak cantik, tidak pintar, tidak gaul karena kita hanya berkomunikasi via hp. Sedangkan aku tahu kau sangat hebat. Tapi kau terus meyakinkanku, dan Tuhan menjawabnya pada istikhorohku.


Sampai pada malam itu, aku masih ragu apakah ini adalah sebuah kenyataan atau hanya mimpi di siang hari. Kau lingkarkan cincin di jariku dengan mantap. Dan aku juga melakukanya padamu, dan tahukah aku seperti bergerak tanpa kesadaran. Setelah itupun, aku masih mencaritahu tentang kenyataan yang sebenarnya. Satu hari kemudian, kau dan Ibumu mengantarkanku ke Jogja, tempatku mencari ilmu. Kita tak banyak bicara di dalam mobil. Aku masih punya alasan untuk diam saat itu. Satu, aku pusing di mobil, dua aku malu pada ibumu, tiga, aku ah itu hanya alasan-alasanku saja barangkali. Saat kita turun di Malioboro untuk jalan-jalan, kita masih banyak diam. Aku tahu, mungkin kau tidak nyaman dengan diamku tapi, aku lebih tidak nyaman untuk ngobrol saat itu. Maafkan aku yang egois ini.


Dan mobil itu menepi juga di tempat tinggalku di Jogja. Kau mungkin sangat kecewa dengan kediamanku, dan aku lebih kecewa dengan sikapku sendiri. Hingga perpisahan itu, aku benar-benar menyesalinya.


Ketika langkahku kuayunkan kembali ke Pondok yang kutinggali, aku masih bermata kosong. Teman-temanku memberi selamat kepadaku, dan aku tak tahu apa yang mereka selamatkan kepadaku. Sementara fikiranku terus mengantarkanmu kembali ke Jakartamu.


Hari demi hari terus berganti, aku terus menjalaninya dengan bayanganmu. Dan bayangmu semakin nyata ketika kau datang lagi tanggal 30 Mei. Kau ucapkan selamat ulang tahun padaku dan kau beri hadiah untukku. Gamis putih yang sangat indah, terimakasih ya. Dan untuk pertama kalinya aku tak berharap banyak ucapan yang datang padaku. Karena, sejujurnya kedatanganmu saja adalah kebahagiaan yang tak terhapuskan oleh apapun. Dan waktu itu, aku ingin menyambutmu dengan tak ingin mengulangi kesalahan Maret lalu. Aku ingin memasak makanan kesukaanmu. Aku mempelajari buku resep masakan dan membayangkan kau menyukai makananku. Pagi-pagi buta, aku pergi ke pasar dan mencari semua bahan yang kubutuhkan. Lalu, langkah demi langkah yang ada di resep kutempuh. Memang tidak semua langkah persis kulakukan, ini karena ternyata porsi yang akan kubuat berbeda dengan yang ada di resep. Aku menggumuli dapur hingga siang dan lama juga tak selesai-selesai. Sampai tanganku terkena parut dan mengeluarkan darahpun, aku tak merasanya karena aku bahagia. Tapi, ternyata hasil yang kudapatkan tidak seperti yang kuharapkan. Maafkan aku gagal menyambutmu lagi. Masakanku aneh dan tak enak.



Pertemuan kali ini kau berusaha mengakrabi orang tuaku dan aku menyukai itu. Aku bangga padamu. Dan pasti kau kecewa dengan aku yang tak bisa mendekati keluargamu. Mungkin kau maklum dengan kesulitanku berkomunikasi lisan, tapi aku sendiri tidak ingin memakluminya. Ini benar-benar menyulitkanku.


Satu Juni ini, kuantarkan kau ke stasiun Tugu dan akhirnya kau akan kembali lagi ke Jakartamu. Aku berharap kau simpan rapi harapanku utuk bersamamu di sana. Tolong sampaikan salamku pada Jakarta ya.


Masih saja ku teringat,

kata iringi kau pergi,

jadikan sore itu satu janji

Kau akan setia untukku,

kembali untuk diriku,

mengingatku, walau aku jauh






Akupun sempat janjikan,

ku kayuh semua mimpiku,

ku labuh tepat di kotamu

Dan kaupun s’lalu janjikan,

kau ‘kan menunggu ku datang,

bersatu kembali seperti dulu





Dan bila akupun rindu,

pada nyamannya kecupmu,

pada hangatnya tawamu

Ku dendangkan dengan gitar,

lagu-lagu kesayangan,

sambil ku ingat, indah wajahmu


Wo~o…





Tunggulah aku, di Jakarta mu,

tempat labuhan, semua mimpiku

Tunggulah aku, di kota itu,

tempat labuhan, semua mimpiku






Tunggulah aku, di kota itu,

tempat labuhan, semua mimpiku

Tunggulah aku, di Jakarta mu,

tempat labuhan, semua mimpiku




Kau sekarang telah membuatku percaya dan tak lagi bermimpi bahwa , jika Allah menghendaki, kita akan saling mencinta dalam dekapan ridhoNya yang indah. Dan cerita ini akan menjadi kisah cinta kita untuk anak-anak kita nanti. Dalam pelukan sang bintang, aku melihat langitpun berbahagia mendengar cerita kita. Jogja dan Jakartapun ingin merapat untuk menyaksikan kebahagiaan kita yang tak hanya di bulan Juni ini. Karena mereka telah menyimak kisah kita sejak Januari hingga Juli mendatang dan sampai akhir hayat ini.






Yogyakarta, 10 Juni 2013




Kamis, 06 Juni 2013

Sesuai Atau Mati

Masuk ke dalam suatu lingkungan berarti harus siap mengikuti komponen-komponen yang terdapat di dalamnya. Ada peribahasa yang bilang "dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung". Sebuah peribahasa yang sudah melekat dalam budaya kita, tentu bukanlah sembarang kata tanpa makna. Peribahasa tersebut bisa diartikan bahwa dimana kita berada, kita harus selalu menjunjung tinggi peraturan yang ada di tempat itu atau bisa dibilang "menyesuaikan diri". Hukum seleksi alam tentu masih berlaku sampai saat ini, mungkin malah hingga berakhir dunia ini. Siapa yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkunganya akan tereksekusi dengan sendirinya dan itu berarti ia tidak lolos oleh seleksi alam.Binatang saja memiliki fisik yang selalu menyesuaikan dengan kondisi lingkunganya. Beruang kutub memiliki bulu yang tebal untuk melindungi tubuhnya dari dinginya udara di sana, onta di padang pasir memiliki punuk untuk menyimpan cadangan air.

Menyesuaikan diri di sini mungkin juga sejalan dengan makna berubah. Berubah mengikuti perubahan yang ada. Dan bagaimanapun, kita harus siap dengan perubahan itu, Dinosaurus punah karena tak siap menghadapi perubahan alam. Jerapah berleher panjang karena diduga efek perubahan lingkungan dimana saat itu pohon-pohon sangat tinggi hingga jerapah meninggikan lehernya untuk mencapai makananya.

Kembali lagi kepada konteks kita. Kita juga selaku manusia harus bisa beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Menjadi berbeda sama saja menjadi beruang kutub yang pergi ke padang pasir dan tetap berbulu tebal. Mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri jika ingin diterima oleh masyarakat itu. Sesuai atau mati?

Mungkin, kalian melihat adanya pernyataan yang kontradiktif pada tulisan ini dan tulisan sebelumnya ya? Ya, ini hanya bentuk experimen saya dalam belajar menulis. Mungkin kalau kalian mampu menangkap maksud saya, kalian akan menarik kesimpulan yang tidak kontradiktif dengan tulisan sebelumnya.


Rabu, 05 Juni 2013

Berani Berbeda?


Sebagai makhluk sosial, kita – manusia – tentu merasa ingin adanya kita dianggap oleh orang lain. Ini menimbulkan seseorang berpikir tentang bagaimana ia memosisikan diri di antara panggung masyarakat itu. Seseorang kebanyakan akan mengikuti pandangan-pandangan masyarakat yang selama ini dianggap benar. Padahal, kata Alain de Botton, orang lain bisa saja keliru dalam kebenaran yang mereka rumuskan. Mereka kebanyakan membenarkan apa yang menjadi common sense, dan pada akhirnya mereka tidak mempercayai kebenaran yang sesungguhnya.

             Lalu apakah kebenaran yang sesungguhnya? Ada yang bilang, kebenaran adalah sesuatu yang tidak terdapat pertentangan lagi di dalamnya, bersifat koheren, dan konsisten dengan pernyataan yang  sebelumnya dianggap benar (sudah ada sejak socrates).  Maka bisakah disebut kebenaran jika sesuatu dibenarkan kebanyakan orang tetapi sesuatu itu mengandung keraguan yang sebenarnya patut dipertentangkan?

            Hal itu yang seharusnya membuat kita mereflesikan diri. Kebanyakan kita hanya mengikuti pendapat umum demi keselamatan, supaya kita aman dari kecaman masyarakat yang memberi kritik kasar ketika kita tidak mengikuti apa yang menjadi common sense tersebut. Beranikah kita memperjuangkan kebenaran yang sesungguhnya meski harus menjadi berbeda?

            Mari kita menilik fakta yang ada. Jika kita lebih teliti, banyak hal dalam realita yang sebenarnya tidak mutlak benar. Andai sesuatu itu benar menurut orang-orang, tapi sejujurnya hati itu menolak (bukankah ini pertentangan : intuisi, wahyu, dan akal adalah sumber kebenaran, bagaimana bisa dianggap benar jika intuisi saja menolak)Misal dalam adat, kebiasaan masyarakat, dan lain-lain.  Masih perlukah kita bersikukuh mempertahankan jika hal itu menyimpang dari kebenaran? Padahal, kebenaran bukanya hal yang perlu diperjuangkan ( sampai para Nabi rela berjuang mati-matian demi menyampaikan kebenaran, sampai Socrates memilih meminum racun untuk mempertahankan kebenarnya, sampai-sampai agama, filsafat, dan ilmu sama-sama mencari kebenaran dalam menjalankan fungsinya) lalu mengapakah masih harus mengagung-agungkan sesuatu yang diragukan kebenaranya dan malah merepotkan kita dalam kehidupan ini? 

Masih haruskah kita menjadi sama? Perbendaan adalah rahmat bagi alam, perbedaan adalah kenyataan yang tak bisa kita ingkari.

Mari cari tau kehidupan dari jutaan bintang-bintang, dari berjibun makhluk penghuni bumi, dari berserakanya syaraf-syaraf pembentuk diri.